Kinanti, Surat Penutup
11 maret 2014 | FF7 | Jatinangor
Kisahnya Pada Jam-jam Pagi
Begitu pun dihari libur atau tanggal merah, pagi yang sama selalu datang. Bedanya tidak ada suara berisik anak berangkat sekolah, tapi suara anak lelaki yang bermain kelereng dan anak perempuan bermain karet. Sungguh berisik.
Dia memang tidak seperti orang lain yang berada di sana, pekerjaan menuntutnya pergi sore pulang larut pagi, subuh. Jadi seharusnya pagi adalah waktu yang sakral untuk beristirahat setelah lelah mencari nafkah.
Yang menjengkelkan baginya adalah posisi rumahnya yang berada di ujung jalan keluar, dimana semua orang yang keluar masuk pasti akan melewati depan rumahnya. Awal dia memilih rumah di ujung jalan adalah agar ia bisa cepat keluar masuk komplek atau lebih tepatnya ia terlalu banyak berkomunikasi dengan orang-orang di sekitaran. Kini posisi rumahnya menjadi salah satu kesalahan yang dibuatnya sendiri.
Awal, kesendiriannya bukan masalah besar, malah dia sangat nyaman untuk bisa menyendiri, bisa bahagia tanpa terluka, bisa tenang dengan senang. Tapi seiring dengan itu, waktu berubah, ada sesuatu yang terasa terganjal dalam pikirannya, dalam hatinya.
Kebisingan yang diterima tiap harinya, mengikis sedikit demi sedikit batu dalam hatinya. Perasaannya mulai melunak. Apalagi ketika sekitar rumahnya kedatangan penduduk baru. Rumah yang dulu sempat ditempati Kepala Desa, kini ditempati seorang perempuan. Umurnya sekitar 3-5 tahun dibawahnya. Ia pasti terlihat dijam pagi saat burung senang bernyanyi, saat ayah-ayah memanaskan motor untuk kerja, dan anak-anak pergi sekolah. Perempuan itu pasti dilihatnya saat itu, saat seorang anak lelaki berseragam merah putih berangkat sekolah. Perempuan itu mengantarkan anaknya.
Perempuan itu sudah tidak bersuami, suaminya telah meninggal. Itu pun yang menjadi alasan mengapa ia harus berpindah tempat tinggal. Perempuan itu yang sekarang menanggung semua biaya hidupnya sendiri dan anak semata wayangnya. Rumah suaminya dibilangan komplek elit harus dijualnya, karena perusahaan tempat almarhum suaminya dulu bekerja tidak memberi biaya apa pun. Hasil penjualan rumah dipakai perempuan itu untuk membeli rumah yang lebih sederhana dan sisanya untuk modal usaha. Perempuan yang tegar dengan mata yang indah.
Mata yang indah yang membuatnya menyukai perempuan itu. Ia ingat saat dulu mereka bertemu. Saat itu ia baru pulang dari pekerjaannya, pagi hari. Ia sengaja pulang agak lambat untuk menghindari berbagai bising pagi. Saat hampir sampai rumah, ia berpapasan dengan perempuan yang mengenakan jaket longgar warna merah dan rok dibawah lutut sedang menggandeng anak dengan seragam merah putih. Perempuan itu tersenyum manis kepadanya. Mulai saat itu ada sesuatu dalam hatinya yang meminta keramaian, sepi hinggap terlalu lama.
Hari-hari berikutnya ia tak mau melawatkan kesempatan yang hanya datang saat pagi, karena siang saat perempuan itu kembali dengan anaknya, ia telah tertidur pulas. Kini setiap harinya ia tak ingin pulang terlambat ke rumah dan setiap hari ia menyempatkan untuk berada di halaman, kadang ia sedang menyapu, atau membaca koran dan minum secangkir kopi, kadang juga sedang menyirami tanaman di halamannya yang padahal dulu ia tidak pernah peduli tanamannya. Meski kegiatan itu hanya mengurangi jam tidurnya, tapi itu dilakukan semata hanya untuk mendapat senyumnya bahkan kalau sedang beruntung ia akan mendapatkan ucapan selamat pagi.
Hari demi hari senyuman itu terus didapat tanpa sedikit mengurangi arti senyumnya. Hingga suatu hari ada yang berubah, senyuman pagi kini hilang. Seminggu sudah senyumnya kini tiada. Ia mencari senyumannya. Sepulang kerja tak ada lagi nongkrong dengan kopi di depan halaman, atau pura-pura menyapu halaman, apalagi harus capek menyirami tanaman yang tumbuh sembarangan. Sepulang kerja ia langsung berjalan mengitar rumah-rumah di sekitar rumahnya, dan selalu sengaja untuk melewati rumah perempuan yang dicari senyumnya.
Hari ke hari ia terus mencari. Meski lelah ia harus, karena itu yang membuat sepinya hilang. Hari ketujuh pencariannya, ada sebuah kertas putih yang sudah diprint dengan tinta hitam bertuliskan "DIJUAL". Perempuan itu pergi, membawa senyumannya. Ia kembali sepi, lagi.
Pagi yang cerah, sama seperti pagi lainnya, datar. Cicit burung, suara berisik anak berangkat sekolah, motor-motor para ayah yang siap berangkat kerja, dan suara bising lainnya yang selalu mengganggu paginya. Paginya kini sama seperti dulu, semuanya sama, datar.
Sebuah Permintaan
2. Elkan sudah sangat sering berusaha mencari, tetap tak pernah didapatkannya. Permintaan itu selalu Elkan dapatkan, tiap hari, tiap jam.
3. Cuma ada satu kata yang selalu Elkan berikan setelah permintaan itu terucap, "sabar". Tidak ada kata pengantar lainnya, atau sebuah janji.
4. Seberapa lelahnya Elkan mencari yang pasti tidak pernah memberikan janji. Itu berat menurutnya, memungkiri sama dengan jatuh harga diri.
5. Hari itu ia merengek meminta Elkan medapatkannya, lagi. Berbeda, ia menjadi ganas, barang apa pun di dekatnya dilempar kearah tembok.
6. Alhasil kamarnya menjadi berantakan, kapal pecah pun kalah. Elkan bingung dengan apa yang terjadi, dan bingung harus berbuat apa.
7. Kejadian seperti ini baru kali pertama. Ia menangis sejadinya dan meminta Elkan segera mendapatkannya. Ancaman pun mulai terlontar.
8. Dari mogok makan hingga bunuh diri ia lontarkan. Elkan menenangkannya dengan satu kata "sabar". Tapi tangisannya semakin menjadi.
9. Elkan tak tahu harus berbuat apa, kehabisan ide. Kehabisan kata-kata untuk menenangkannya. Kehabisan cara membuatnya reda.
10. Elkan mendekatinya yang sedang menangis sejadinya, kemudian memeluknya, mendekap, menciumi rambutnya. Elkan menangis sendu, sedih.
11. Elkan tak tak pernah bisa mengabulkan permintaan anaknya tersebut. Dulu anaknya adalah gadis yang cantik dan periang, selalu tersenyum.
12. Hingga suatu kejadian menimpa dirinya, ia kecelakaan saat bermain bersama ibunya. Ibunya yang juga istri Elkan meninggal saat kecelakaan.
13. Dan ia sendiri mengalami kebutaan total yang membuatnya trauma. Ia tidak pernah tahu ibunya meninggal, Elkan tidak tega memberitahunya.
14. Suatu saat ia harus mengetahuinya, Elkan mengerti itu. Saat ini Elkan cuma harus menenangkannya, meredakan tangisannya.
15. Ia meronta dipelukan Elkan, menangis dan teriak-teriak keras. Elkan tetap memelukanya, tersedu dan masih mencoba menenangkannya.
16. Hampir sejam ia dipelukan Elkan, kini mulai tenang. Cuma tangis sendu yang terdengar, matanya sembab berkaca air mata.
17. Dalam tangisan kecil Elkan berkata, "maaf nak, ayah belum bisa memberikan pelangi yang kau minta." Sepi, hening cukup lama.
18. Sepi pecah cuma dengan kalimat yang ia ucapkan, "ayah aku mau ketemu ibu."
19. "Aku juga merindukannya, nak." Pelukan Elkan semakin erat.
20. Selesai.
Bandung 1 April 2015
Kiamat Kecil
Kinanti #10, Apa Reinkarnasi Itu Ada?
Kalau flu, emang lagi musimnya sih. Kemarin flu sempat hinggap padaku. Tidak enak rasanya harus terus minum setiap saat, tenggorokan kering, mulut kena sariawan. Tapi untung sudah berakhir penderitaan. Tinggal sekarang aku mau tanya.
Kinan, kapan terkahir kali kamu berfirkir ingin reinkarnasi?
Aku baru saja berfikir seperti itu. Enak rasanya kalau jadi kupu-kupu, tak merasakan hidup bertahun-tahun. Cukup singkat tapi dikagumi, tak pernah dipusingkan harus berbuat apa ketika tak diberi tugas tetap. Yah karena memang tugas kupu-kupu cukup untuk dikagumikan.
Kinan, ingat tidak saat di lapang sepakbola, saat kamu ingin melihat anak-anak berlatih. Mereka berlari mengejar bola tanpa ada beban. Mereka hanya fokus bermain tidak peduli sekeliling, bahkan ayah ibu mereka yang mengantarkan. Lalu saat itu kau berkata, "Aku ingin seperti mereka, yang terus bermain. Aku tak pernah ingin menjadi saat ini. Terlalu banyak keinginan. Anak-anak terlalu sederhana, aku ingin."
Kinan, kini aku mengerti apa magsud katamu saat itu. Sesederhanakah hidup kita, hanya manusia dengan hati yang mampu menjawab.
Kinan, coba tebak aku ingin reinkarnasi manjadi apa? Bukan kupu-kupu. Aku ingin menjadi fungi, iya jamur. Aku rindu kamu, Kinanti.
Bandung, 17 Maret 2015
Saat di kantor semua sibuk dengan tugasnya, tapi sendirinya bengong.
Halte
1. Lama lelaki itu duduk di halte bus, sudah sekitar 2 jam ia di sana. Entah apa yg ditunggu, bukan bus. #isengCerita
2. Berapa puluh bus yang berhenti ia tetap tak bergeming, diam. Tak jelas pula apa yg dilihat, pandangannya kosong kedepan. #isengCerita
3. Sesekali ia melihat jam tangannya dan kembali melihat kedepan, hambar. Matahari sudah condong ke barat, angin biasa saja. #isengCerita
4. Cuaca cukup ramah untuk lelaki paruhbaya ini, faktor usia memang rentan penyakit terkena angin. #isengCerita
5. Dengan planel biru lengan panjang dan celana bahan hitam pekat iya terlihat tampak muram, wajahnya datar. #isengCerita
6. Entah yang keberapakalinya bus kembali berhenti, lelaki itu tetap diam. "Selamat sore, Josh." Sapa supir lagi, tak digubris. #isengCerita
7. "Hey, apa kabar?" Tiba-tiba perempuan menghampiri dan duduk di sebelahnya. "Saya Lisha." Menawarinya berjabat tangan. #isengCerita
8. "Orlando?" Lelaki itu menggeleng. "Aku harus kesana, sepupuku kecelakaan td siang. Semoga tak terlambat. Ia sepupu terbaik." #isengCerita
9. "Kami dibesarkan bersamaan oleh nenekku. Setelah besar kami dipisahkan untuk urusan akdemik." Tatapan lelaki itu mulai fokus #isengCerita
10. Cerita perempuan tadi mengaburkan lamunannya yang sudah lebih 2 jam. Entah apa yg menarik perhatiannya, Lisha menyenangkan. #isengCerita
11. Bus datang lagi, ini yang ditunggu Lisha. "Hey Josh." Sapa supir lagi. Berbeda, lelaki itu mengacungkan tangan kanannya. #isengCerita
12. "Ini busku. Aku harus pergi." Lisha berdiri, "Kau sudah lama? Untuk alasan apa pun kau juga harus pergi, tak baik untuk kesehatanmu."
13. "Namamu?" Tanya perempuan itu. "Josh. Edward Josh." Jawab lelaki itu. "Josh, nama sepupuku Grace. Ia kelainan, autis." Lalu menaiki bus.
14. "Semoga harimu menyenangkan Josh." Kata supir dari dalam bus. "Iya, terimakasih." Jawab lelaki itu. Perlahan bus itu menjauh, juga Lisha
15. Lelaki itu kembali melihat jamnya. Sudah 2 setengah jam iya duduk. Ini sudah lebih dari waktu normalnya berdiam. Segera ia harus kembali
16. Sejenak lelaki itu diam mengingat kata perempuan tadi, 'untuk alasan apa pun, kau juga harus pergi', "apa magsudnya?" Tanyanya dlm hati.
17. Sinar matahari hanya tinggal menyisakan serpihan cahaya dibalik dedaunan. Langit mulai merah, lembayung. Tak lama lelaki itu berdiri.
18. Lelaki itu pergi dgn kata-kata yg tak sempat diucap. "Lisha, kamu mirip istriku saat masih muda, ia meninggal tertabrak di halte tadi."
Rancaekek, januari 2015
Pot
1. Meja segitiga disudut ruangan yang cukup luas untuk menampung puluhan orang itu seperti tidak pernah terganggu. Diam kokoh, tak rapuh.
2. Warna coklat mengkilat dengan garis tipis sembarangan warna hitam menunjukan citra sederhana namun terlihat tampak mewah.
3. Meja dengan tinggi tidak lebih dari sepinggang orang dewasa itu terlihat bersih seperti baru keluar dari pabrik mebel terkenal.
4. Tepat di seberang meja di sudut dengan garis lurus, Tira duduk di depan meja bundar kecil berteman secangkir kopi. Kopi ke tiganya.
5. Bukan meja dengan ukiran seniman hebat yang ia perhatikan. Terlebih dari itu ada benda unik yang berada tepat di atasnya.
6. Tira senang mengamatinya. Sudah minggu ke lima ia datang ke tempat itu, rutin tiap jumat sore.
7. Sebuah pot dari kaleng bekas biskuit bergambar seorang ibu yang sedang menuangkan minuman kedalam gelas anaknya. Itu menjadi fokusnya.
8. Fokus dari minggu pertama ia datang ke tempat itu tidak berubah. Tira jatuh cinta.
9. Pukul 7 malam, waktu yang sama untuk bergegas pulang dengan tergesa. Tira tak mau perlahan meninggalkannya, hanya memperlambat luka.
10. Seminggu dari itu ia akan kembali ke tempat yang sama dan memandang lurus ke benda sama.
11. Tira jatuh cinta, tanpa alasan.
Rancaekek, januari 2015
Sakitnya tuh di disini, malu sama kucing, dan Indonesia raya
Coba seberapa sering kita mendengarkan musik? Musik lokal atau interlokal? Ada yang pernah menghitungnya? Jelas tidak pernah, kita hanya menikmatinya bukan mau itung itungan, nikmat tidak bisa dikalkulasi.
Di dunia yang serba cepat ini kita tidak pernah menduga apa yang akan terjadi dikemudian hari. Seperti meme 'sakitnya tuh di sini'. Siapa yg menyangka meme tersebut akan menjadi buah bibir orang banyak yang padahal dulu cuma netizen saja yang menikmatinya. Kini ibu-ibu pengajian, bapak petani, anak ingusan, dan remaja yang masih minta bantu operator warnet untuk kirim email, semuanya tahu ada 'sakitnya tuh di sini. Yah, kita harus berterima kasih kepada Cita Citata yang telah mempopulerkan lagu itu. Lagu dengan genre dangdut remix yang saat ini sedang hepening dan telah mengalahkan koplo jingkrak, kini sudah menjadi perbincangan seluruh Indonesia. Jadi siapa yang tidak tahu lagu ini, kalian ketiggalan jaman bray. Kalau kita tanya orang yang suka musik underground, seperti metal, hardcore, punk, dll, apakah mereka tahu 'sakitnya tuh di sini'? Mereka akan tahu, karena media bahkan penjual mp3 bajakan pinggir jalan memutar lagu ini. Tapi apakah mereka akan suka? Mungkin sebagian akan suka dan sebagian akan jawab 'sudi teuing ah' (re: tak sudi aku). Terlepas dari suka atau tidak suka yang pasti kita sudah tahu dan hafal sedikit nada-nadanya, minimal reff.
Tak kalah dari 'sakitnya tuh di sini' ada lagu anak yang kini juga menjadi bahan obrolan ketika kumpul teman. Yap, 'malu sama kucing' yang dinyanyikan oleh adik kandung dari Bastian Steel mantan anggota Cowboy Jr, Romaria. Dari hujanan lagu cinta remaja kini hadir lagu anak dengan lirik lumayan buat anak dan dinyanyikan oleh anak, dari anak oleh anak untuk anak. Sebetulnya lagu seperti ini bukan kali ini saja. Tahun 90an lagu anak bahkan menjadi yang terdepan di stasiun televisi, hanya kalah dari dewa 19, wayang, dan basejam. Hampir seluruh televisi nasional mempunyai program tersendiri untuk anak, seperti cilukba, tralala trilili, dunia anak-anak, dan lainnya. 'Malu sama kucing' jadi penyegaran edukasi anak melalui lagu. Selain buat anak, jomblo pun bisa, jangan nangis mblo malu sama kucing.
Kedigjayaan lagu senantiasa akan berubah setiap waktunya, kita pasti akan disuguhkan dengan lagu baru yang lebih hits nantinya. Tapi sesuatu yang jelas, Indonesia Raya pasti ada setiap akhir siaran televisi.
Rancaekek, januari 2015
Jam
Tik tok tik tok
Denting denting jam ranting
Jam ragu
Jam tak berhulu
Memulai kapan berakhir entah
Coba tanya waktu dijawab ragu
Jam ragu
Jam tak berhulu
Masa depan lurus kedepan
Kebelakang cuma menengok
Cepat lihat kembali
Masa depan lurus kedepan
Pulang kemana berawal dari mana
Dari kapan sampai entah
Coba prediksi hari
Tak bisa waktu dijawab ragu
Jam ragu
Jam tak berhulu
Masa depan lurus kedepan
Kebelakang cuma menengok
Rancaekek, januari 2015