Kinanti, Surat Penutup


Surat penutup

Kinanti, apa kabar?
Aku yakin kau baik dan sangat bahagia dan aku pun merasakan kalau kau sedang dilanda rasa terima kasih kepada Tuhan. Hidup sudah begitu sempurnakah? Aku merasakan apa yang rasakan meski tak pernah bertemu lagi.

Kinanti,
kau tahu apa yang aku ingin kan dari dulu. Tentang menjadi seekor burung yang bisa terbang tanpa lampu merah di setiap perempatan, tanpa bunyi kelakson di setiap pemberhentian.  Kau tahu burung dapat hingap di mana saja tanpa perlu merasa khawatir. Ia dapat mencari makan sendiri tanpa harus sibuk mencari dulu alat tukarnya. Apa kau pernah lihat burung mati kelaparan, Kinan? Burung hanya mati kalau diterkan pemangsa, atau ditembak manusia, atau sudah waktunya.

Kinan, aku benar ingin menjadi burung. Kalau saja reikarnasi itu benar ada, aku akan memohon kepada tuhan untuk menjadi burung.

Tidak! Aku cuma ingin menjadi burung elang. Gagah, kuat, dan ditakuti. Aku tak mau menjadi butung gereja, atau burung pipit yang mencuri padi petani. Aku ingin menjadi burung elang yang melayang berputar di kaki langit, bersuara lengking yang berkesan bijaksana. Siapa lagi burung dengan kasta tertinggi selain elang? Tak ada Kinan, tak ada. Kalau ada pun, aku tetap mau menjadi elang yang akan setia kepada pasangannya. Burung paling setia, burung gagah melambangkan cinta.

Kinanti,
aku benar benar ingin bertemu denganmu, sekali saja, sebentar saja. kalau boleh tidak mengatakan apa pun, karena aku pun sama tidak akan mengeluarkan sepatah kata. Aku hanya ingin melihatmu saja, Kinan. Melihat senyum manismu, melihat rambut panjang hitammu, melihat lentik jarimu, melihatmu utuh tanpa halanga, tanpa jarak, tanpa waktu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu, sedikitpun tak akan, Kinan. Kalau aku menyentuhmu boleh kau panggil polisi untuk menangkapku, penjarakan aku, siksa aku, tapi satu pintaku, ingin melihatmu dari dekat.

Kinanti,
Aku baru selesai dari drama drama menyedihkan hidup. Aku sudah bisa berjalan meski terseok. Aku tak mau berlari, aku tak punya sepatu, mana bisa aku berlari tanpa sepatu. Siapa orang yang berlari tanpa sepatu, siapa, Kinan? Kalau ada, kaki orang itu pasti terluka, berdarah darah hingga harus diamputasi. Aku tak mau seperti itu. Cukup saja kau berjalan perlahan, menikmati udara kiri kanan, menikmati semburan sinar matahari yang hampir padam. Tanpa drama drama setingan dengan skrip murahan. Aku mau terbebas sepenuhnya dari itu.

Cuaca sore yang cerah adalah hal yang paling sempurna. Itu katamu waktu dulu, Kinan. Kata yang selalu aku ingat dan selalu aku simpan dalam hati. Aku tak penah lupa kata katamu yang selalu menuntunku untuk pergi sejenak, tinggalkan rutinitas, nikmati setiap detik dalam hidupmu. Tapi aku menyesal karena dulu tak pernah menurutinya. Aku benar menyesal, Kinan. Apakah ada sedikit harapan untuk mempebaikinya.

Tidak, Kinan. Aku tidak bisa memperbaikinya sendiri. Aku mau memperbaikinya denganmu, berdua bersama mengikuti apa yang selalu kau katakan. Menikmati setiap detik berdua, bersama. Apakah akan bisa terjadi seperti itu, Kinan? Tolong jawab, tolong. Aku mau memperbaikinya. Aku mau kau ada di sini, Kinan. Aku tak mau membuat surat surat untuk mu seperti ini. Aku mau mengatakannya langsung tanpa kertas dan pena.

Aku mau berhadapan denganmu di meja makan, membicarakan apa yang telah kita lakukan hari ini. Aku mau menikmati masakanmu yang selalu kau ceritakan. Resep masakan warisan orang tuamu yang merupakan hasil warisan nenekmu. Aku mau itu, Kinan. Dengan bunyi sendok yang berada piring, aku ceritakan suasana kantorku dan kau ceritakan gaduhnya kelasmu. Lalu kau akan tertawa saat menceritakan seorang muridmu yang menari nari kegirangan saat melihat hasil pekerjaanya diberi penghargaan olehmu. Aku ingin seperti itu, Kinan. Kumoho, Kinan, aku memohon.

Kinanti,
aku memang orang yang naif. Aku selalu ingin semua keinginanku tercapai. Namun aku lupa tidak semua yang kita inginkan bisa teewujud. Aku memang bodoh, hanya bisa menulis surat ini. Aku memang orang tolol yang cuma bisa berandai andai,

Menjadi elang apanya? Menjadi burung gereja saja aku payah. Aku tak bisa membangun sarangku sendiri, aku tak bisa mencari makanku sendiri. Bagai mana aku menjadi elang yang selalu melindungi. Aku cuma burung yang cacat. Burung dengan sayap yang tak berguna. Burung yang tak berani terbang jauh dari sangkar. Burung yang lupa bagaimana kodratnya menjadi burung. Itu aku, Kinan. Itu aku! Si burung bodoh yang tak tahu menggunakan sayap.

Kinanti,
maaf aku tak bisa menjadi seorang yang berada selalu didekatmu. Tapi aku yakin kau pun tak menginginkannya. Karena, aku ini siapa, cuma seorang yang terlalu pecrcaya kalau kelinci dalam buku Alice itu benar ada. Kalau waktu itu bisa diputar hanya dengan membalikan jarum jam. Siapa lagi orang yang bodoh seperti ini selain aku. Tak ada, Kinan. Tak ada. Aku tekankan sekali lagi. Tak ada orang yang paling bodoh selain aku.

Kinan,
maaf, Kinan, maaf. Aku minta maaf.
Kinan,boleh aku berterima kasih untuk apa saja yang kau perbuat untukku. Untuk ucapan yang dengan atau tanpa sengaja diarahkan untukku. Kinan, aku berterima kasih karena memperkenalkan Frau kepadaku. Aku berterima kasih karena kau mau berdiskusi tentang televisi denganku. Aku berterima kasih karena telah menemaniku dalam perjalanan menuju stasiun, meski hanya dengan pesan pendek. Aku berterima kasih karena pernah menemaniku makan pecel lele, kita berdua kesurupan waktu itu. Kinan, semoga kau masih menyimpan hadiah pemberianku. Aku berterima kasih karena telah sudi berbagi kata sandi denganku. Dan aku berterima kasih karena telah menjadi bagian yang menyenangkan dari pencarianku. Aku senang menunggumu walau gagal. Ini surat terkahirku kepadamu, Kinan.
Kinanti,
maaf aku mencintaimu sedalam ini.

20 Februari 2019
*salam untuk suamimu dan kecup manis untuk Kinanti kecil, anakmu.

0 komentar:

Posting Komentar