Kisahnya Pada Jam-jam Pagi

Pagi itu cerah, sama seperti pagi lainnya, datar. Cicit burung, suara berisik anak berangkat sekolah, motor-motor para ayah yang siap berangkat kerja, dan suara bising lainnya yang selalu mengganggu paginya. Tidak pernah ada pagi yang beda, semuanya sama, datar.

Begitu pun dihari libur atau tanggal merah, pagi yang sama selalu datang. Bedanya tidak ada suara berisik anak berangkat sekolah, tapi suara anak lelaki yang bermain kelereng dan anak perempuan bermain karet. Sungguh berisik.

Dia memang tidak seperti orang lain yang berada di sana, pekerjaan menuntutnya pergi sore pulang larut pagi, subuh. Jadi seharusnya pagi adalah waktu yang sakral untuk beristirahat setelah lelah mencari nafkah.

Yang menjengkelkan baginya adalah posisi rumahnya yang berada di ujung jalan keluar, dimana semua orang yang keluar masuk pasti akan melewati depan rumahnya. Awal dia memilih rumah di ujung jalan adalah agar ia bisa cepat keluar masuk komplek atau lebih tepatnya ia terlalu banyak berkomunikasi dengan orang-orang di sekitaran. Kini posisi rumahnya menjadi salah satu kesalahan yang dibuatnya sendiri.

Awal, kesendiriannya bukan masalah besar, malah dia sangat nyaman untuk bisa menyendiri, bisa bahagia tanpa terluka, bisa tenang dengan senang. Tapi seiring dengan itu, waktu berubah, ada sesuatu yang terasa terganjal dalam pikirannya, dalam hatinya.

Kebisingan yang diterima tiap harinya, mengikis sedikit demi sedikit batu dalam hatinya. Perasaannya mulai melunak. Apalagi ketika sekitar rumahnya kedatangan penduduk baru. Rumah yang dulu sempat ditempati Kepala Desa, kini ditempati seorang perempuan. Umurnya sekitar 3-5 tahun dibawahnya. Ia pasti terlihat dijam pagi saat burung senang bernyanyi, saat ayah-ayah memanaskan motor untuk kerja, dan anak-anak pergi sekolah. Perempuan itu pasti dilihatnya saat itu, saat seorang anak lelaki berseragam merah putih berangkat sekolah. Perempuan itu mengantarkan anaknya.

Perempuan itu sudah tidak bersuami, suaminya telah meninggal. Itu pun yang menjadi alasan mengapa ia harus berpindah tempat tinggal. Perempuan itu yang sekarang menanggung semua biaya hidupnya sendiri dan anak semata wayangnya. Rumah suaminya dibilangan komplek elit harus dijualnya, karena perusahaan tempat almarhum suaminya dulu bekerja tidak memberi biaya apa pun. Hasil penjualan rumah dipakai perempuan itu untuk membeli rumah yang lebih sederhana dan sisanya untuk modal usaha. Perempuan yang tegar dengan mata yang indah.

Mata yang indah yang membuatnya menyukai perempuan itu. Ia ingat saat dulu mereka bertemu. Saat itu ia baru pulang dari pekerjaannya, pagi hari. Ia sengaja pulang agak lambat untuk menghindari berbagai bising pagi. Saat hampir sampai rumah, ia berpapasan dengan perempuan yang mengenakan jaket longgar warna merah dan rok dibawah lutut sedang menggandeng anak dengan seragam merah putih. Perempuan itu tersenyum manis kepadanya. Mulai saat itu ada sesuatu dalam hatinya yang meminta keramaian, sepi hinggap terlalu lama.

Hari-hari berikutnya ia tak mau melawatkan kesempatan yang hanya datang saat pagi, karena siang saat perempuan itu kembali dengan anaknya, ia telah tertidur pulas. Kini setiap harinya ia tak ingin pulang terlambat ke rumah dan setiap hari ia menyempatkan untuk berada di halaman, kadang ia sedang menyapu, atau membaca koran dan minum secangkir kopi, kadang juga sedang menyirami tanaman di halamannya yang padahal dulu ia tidak pernah peduli tanamannya. Meski kegiatan itu hanya mengurangi jam tidurnya, tapi itu dilakukan semata hanya untuk mendapat senyumnya bahkan kalau sedang beruntung ia akan mendapatkan ucapan selamat pagi.

Hari demi hari senyuman itu terus didapat tanpa sedikit mengurangi arti senyumnya. Hingga suatu hari ada yang berubah, senyuman pagi kini hilang. Seminggu sudah senyumnya kini tiada. Ia mencari senyumannya. Sepulang kerja tak ada lagi nongkrong dengan kopi di depan halaman, atau pura-pura menyapu halaman, apalagi harus capek menyirami tanaman yang tumbuh sembarangan. Sepulang kerja ia langsung berjalan mengitar rumah-rumah di sekitar rumahnya, dan selalu sengaja untuk melewati rumah perempuan yang dicari senyumnya.

Hari ke hari ia terus mencari. Meski lelah ia harus, karena itu yang membuat sepinya hilang. Hari ketujuh pencariannya, ada sebuah kertas putih yang sudah diprint dengan tinta hitam bertuliskan "DIJUAL". Perempuan itu pergi, membawa senyumannya. Ia kembali sepi, lagi.

Pagi yang cerah, sama seperti pagi lainnya, datar. Cicit burung, suara berisik anak berangkat sekolah, motor-motor para ayah yang siap berangkat kerja, dan suara bising lainnya yang selalu mengganggu paginya. Paginya kini sama seperti dulu, semuanya sama, datar.

Bandung, 10 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar