Kinanti #9, Kita Yang Menentukan Hidup

Malam Kinan, sudah berapa musim aku tak kirimimu surat. Aku tak lupa, hanya sedang malas untuk bercakap dengan tulisan. Sekarang sudah hampir mau musim  hujan lagi dan aku ingin kamu tahu, aku merindukanmu, lagi.

Katakanlah malam ini akhir hidupku, apa yang kau inginkan didetik terakhir ku hidup? Apa kau ingin kembali tertidur dibahuku? Kau ingat, saat dulu kau menangis karena ucap temanmu soal hidup? Saat temanmu bicara semua telah ditentukan takdir, tapi kau tak percaya hidup ditentukan hanya oleh apa yang sudah tertulis. Saat itu kau bilang, kalau ini takdir kita tak bisa salahkan Hitler yang fasis karena ini telah ditentukan. Kau bilang takdir itu tidak ada, yang ada hanya bagaimana kita bisa hidup dan menjalaninya. Aku percaya kamu. Tapi temanmu dengan segala argumen sampahnya terus berkoar dan menghubung hubungkannya dengan agama dan kitabnya. Kau sendiri bilang kita ini hidup berdasarkan naluri kemanusian kita dan agama itu masalah personal, tak ada yang bisa menentukan hidup. Aku percaya kamu. Kalaupun semua yang baik itu menyenangkan kenapa harus ada yang ditakdirkan untuk menjadi jahat, menjadi pembunuh, pencopet, juga koruptor. Semua ini masalah ekonomikan, kamu yang membuatku tahu bahwa bertahan hidup itu adalah naluri makhluk yang bernyawa. Hidup ditentukan oleh kita sendiri, jalan lurus atau berkelok yang akan kita ambil. Kalau semua ditentukan takdir, kenapa tak semua dibikinkan jalan lurus agar tak ada yang salah jalan dan mungkin kita akan hidup santai menarik oksigen. Kamu yang meyakinkanku hidup kita ditentukan oleh kita, bukan menunggu takdir. Aku percaya kamu.

Kalau kau ada di sini, aku yang ingin tertidur di bahumu sekarang, Kinan.

10 Oktober 2013, Rancaekek

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ini si Kinanti udah berapa chapter teu tamat-tamat mhihihi

Posting Komentar