Aku Tuli

Hujan itu. Basah itu. Air itu. Angin yang mengendus. Warna-warna spidol anak TK pada pelangi. Bau bunga tersiram hujan. Juga gemuruh keras petir. Aku dapat merasakanya, melihatnya, menciumnya, mendengarnya, tapi sulit aku menceritakannya. Aku tak bersuara. Yah, aku bisu! Terima kasih tuhan.
*
Sudah dari saat aku terlahir pita suaraku putus tak tersambung. Tidak terdengar suara sedikit pun keluar dari mulut ini. Meski cuma ‘eeeekkhhh’ atau ‘mamah aku lapar’ sungguh imposible. Lapar? Oh yah, aku ingat. Saat aku bayi ketika lapar aku selalu menangis tanpa suara, apalagi teriak cuma menagis. Dan mamah ikut pula menangis. Kenapa mamah mesti menangis? apa karena aku tidak bisa teriak saat aku lapar atau cuma karena aku tidak bisa bicara ‘mamah aku lapar’. Seharusnya kan mamah senang aku tak berisik, tak pernah teriak. Banyak mamah-mamah tetanggaku yang punya bayi selalu marah ketika anaknya menangis plus  teriak lapar. Kenapa mamah menangis ketika aku hanya berlinangan air mata dan membuka lebar-lebar mulutku saat lapar, tidak berisik, tidak bersuara. Mungkin kalau mamah adalah tetanggaku, mamah akan bersuara, “nah, gitu enggak berisik,” dan aku yang akan menangis terus.
Entah dari kapan aku munyikai hujan. Aku selalu berada di depan jendela rumah jikalau hujan turun. Aku ingin lihat air yang jatuh ke rumput, ke tanah, ke dedaunan. Aku juga suka dengan bau bunga yang tersiram hujan. Juga pelangi yang melukis angkasa setelah hujan berhenti. Tapi aku tak suka dengan petir dan gemuruhnya, aku takut dengan itu. Kalau aku sedang melihat petir dan mendengar gemuruh kadang-kadang rasanya ingin juga aku buta dan tuli. Cuma untuk tidak melihat petir dan mendengar gemuruh. Aku selalu lari ketakutan kalau saat aku di depan jendela tiba-tiba ada petir yang menyambar, aku langsung masuk kamar dan mengurungi dengan selimut. Suatu saat ayah datang ke kamarku setelah melihatku lari ketakutan saat ada petir. Saat itu aku mulai tidak takut lagi pada petir dan gemuruh. Ayah memberi tahuku, ”nak... petir, hujan, angin, pelangi adalah satu kesatuan utuh, mereka membuat harmoni yang indah. Keseimbangan yang dibentuk sungguh sempurna. Jika saat petir menyambar-nyambar tapi ketika itu tak ada hujan sungguh tak seimbang, tak ada harmoni yang terbentuk, atau jika hujan mengguyur dengan deras tak terlihat pelangi, sangat sia-sialah air yang tumpah ruah itu. Maka mereka adalah kesatuan, seperti kita, ayah, mamah, dan kamu. Kita kesatuan yang tidak terpisahkan. Jangan pernah takut nak, ayah dan mamah selalu ada di sisimu.”
Semua orang memang punya keberuntungan yang berbeda. aku pun punya keberuntungan disela-sela ketiadaan suaraku. Aku punya mamah dan ayah yang baik, mereka yang selalu membisikiku kalau mereka adalah mamah dan ayahku. Aneh, kenapa bukan mamah dan papah atau ayah dan ibu, kenapa harus mamah dan ayah. Itu mungkin kemauan mereka. Mereka tak pernah bercerita dan aku tak pernah bertanya. Keberuntunganku bukan hanya punya orang tua yang baik. Tetanggaku baik, lingkungan rumah maupun sekolahku baik, juga aku diberi teman-teman yang baik, teman-teman yang selalu bermain denganku. Aku senang kalau kita lagi main petak umpet, aku tak pernah jaga. Karena dulu pernah aku yang jaga dan aku bingung untuk memanggil nama yang aku temui. Beruntung teman-temanku mengerti dan tak pernah menyinggung soal aku yang tidak bisa bicara. Ini bukan mauku atau orang tuaku.
Aku pun dapat lingkungan sekolah yang baik. Aku bersekolah di sekolah formal seperti anak-anak lain dan beberapa tetanggaku adalah teman sekelasku. Aku senang bisa berteman dengan mereka tak ada diskriminasi. Semuanya baik mau bantu aku dalam hal pelajaran yang kurang aku mengerti. Kelasku memang kelas dengan anak berotak Einstens, semua selalu berlomba untuk jadi rangking pertama. Aku selalu masuk sepuluh besar. Maka dari itu banyak guru yang menyukaiku. Aku suka bermain saat istirahat, awal masuk aku sangat tidak percaya diri, aku sering minder dengan teman-teman sekolahku. Tapi teman-temanku yang selalu mengajakku  untuk bermain dan membuat aku tak pernah merasa seperti orang yang punya kekurangan. Awalnya aku dan teman-temanku susah untuk berkomunikasi, bahkan dengan orang tuaku sendiri. Tapi untung saja ada Tasya yang memberiku solusi dari kesulitan berkomunikasi. Saat itu aku sedang belajar bersama dengannya, dan ada beberapa soal yang kurang aku mengerti. Ketika itu aku bingung ingin menanyakanya dan hanya menunjuk-nunjuk soal tersebut. Tasya masih saja belum mengerti dengan apa yang aku magsudkan. Hingga pada akihirnya sang wonder women bicara sesuatu,”kamu tanya apa? tulis saja pertanyaan kamu, nanti aku jawab.” Dan setelah itu aku tak lepas dari buku dan pulpen, kadang-kadanga pensil. Aku kini berkomunikasi melalui tulisanku, dengan orang tuaku, guruku, tetanggaku, temanku, juga Tasya sang wonder womenku.
Suatu hari aku melihat kembali hujan, angin, pelangi, dan kini aku tak takut pula melihat petir dan gemuruh. Kembali jendela depan rumah ku ambil untuk menikmati mereka. Berdiam, fokus memperhatikan hujan. Banyak air yang tumpah dari langit saat itu. Kilatan-kilatan petir mirip flash saat sesi pemotretan foto model saling berkilatan. Angin yang mengendus bagai kerbau yang marah, sangat terlihat uap-uap berbentuk asap keluar. Gemuruh yang terdengar seperti orang dewasa yang telah makan kekenyangan, terdengar keras seperti sendawa raksasa dengan spiker aktif berkapasitas 5.000.000 volt. Setelah semua beres. Genang-genangan air berwarna coklat yang mirip dengan susu coklat yang ibu buat saat pagi, terlihat sangat lezat untuk meminumnya. Basah-basah pohon membuatku ingin memberikan hairdryer. Bunga yang mengeluarkan harum menyegarkan. Juga di langit, pelangi yang membelah angkasa dengan warna-warna crayon berpuluhan juta, seperti lukisan tuhan yang sengaja diciptakan untuk menambah indah saat-saat hujan berhenti. Aku ingin mengingat memori ini, tak ingin ku lupakan saat indah ini. Juga aku ingin memberi tahu ayah dan mamah, tetanggaku, teman-teman sekolahku, guruku, semuanya, semuanya ingin ku ceritakan tentang keindahan ini. Yah, aku ceritakan
*
Hujan itu. Basah itu. Air itu. Angin yang mengendus. Warna-warna spidol anak TK pada pelangi. Bau bunga tersiram hujan. Juga gemuruh keras petir. Aku dapat merasakanya, melihatnya, menciumnya, mendengarnya, dan aku dapat menceritakannya. Aku tak bersuara. Yah, aku menulis! Terima kasih tuhan, terima kasih Tasya. Aku kini terus bercerita.



26 Maret 2012
*berceritalah, terus ceritakan, lisan atau tulisan. Berceritalah.

0 komentar:

Posting Komentar