Mamah

“Mamah” suaranya sangat indah, ia tak lupa.
*
Malam itu memang jadi semakin muram. Semakin keruh. Hujan yang mengguyur dari pagi tak berhenti semenit pun. Guruh gemuruh tanpa petir, juga angin angin kecil, menebas seluruh waktu yang tersisa beberapa jam lagi. Ia masih rela kehujanan tanpa payung, mengetuk pintu demi pintu rumah keluarganya. Ia tak pernah lama berkunjung, lima sampai sepuluh menit lalu kembali pergi. Kerabat dekatnya pun ia kunjungi, dari pagi.
Dan juga rumah Hari, mantan suaminya. Rumah yang dulu juga ia tempati bersamanya. Rumah terakhir yang ia kunjungi, kesempatan terakhir ada pada rumah itu. Tidak ada harapan pada rumah rumah sebelumnya. Hanya pada rumah itu ia mengharapkan segalanya. Semua impian tentang masadepannya. Semua kini tinggal pada rumah terakhir yang ia kenal. Rumah mantan suaminya, Hari.
Hujan masih mengguyur meski sudah tidak lagi seperti tadi. Sudah tak ada guruh, angin, atau pun petir. Ia masih berjalan pada genangan genangan air hujan di jalan berlubang, keruh warnanya, sekeruh hatinya saat ini. Siraman air dari langit menyentuh tubuh tubuhnya yang sudah hampir membiru, menggigil kedinginan tanpa jas hujan, payung, hanya ada plastik yang menutupi kepalanya yang ia temui di pinggir jalan tadi. Ia bisa sampai ke rumah itu, harapan tergantung pada rumah itu. Berjalan menggigil kedinginan, hujan masih terus berjatuhan. Seperti air mata yang berjatuhan dari matanya yang bulat hitam. Dengan tangisnya ia masih tetap berjalan, tanpa mau sedikit pun berhenti, beristirahat.
Ttteeeettttt tteettttt
Suara bel rumah ditekan, dengan jari jari keriput kedinginan, pucat putih. Ttteeettttt, kembali dibunyikan, belum ada yang keluar. Ttteeeettttt.
“Iya tunggu sebentar” terdengar suara dari dalam rumah, suara perempuan.
Ia masih menunggu tetap di depan pintu masuk di depan teras. Teras dengan bunga bunga dalam pot pot kecil yang dulu ia sirami, ia rawat, ia jaga, tentu ia tanam. Mawar putih yang dulu masih setinggi lutut sekarang sudah tinggi hampir setengah orang dewasa, juga berbunga, cantik, indah. Namun tak seindah ia sekarang. Dua kursi dari rotan dan satu meja berkaki besi hitam mengingatkan ia pada sore berlembayung yang ditemani teh hangat dan beberapa kue lapis yang ia buat sendiri, Hari sangat suka, dulu sebelum mereka berpisah. teras yang indah saat dulu saat ia selalu mendengar kata kata yang terucap dari anak manis.
“Mamah” suaranya sangat indah, ia tak lupa.
Dalam lamunan, juga ia tak lupa pada kenangan yang tak ingin ia kenang saat ia pergi dari rumah itu. Saat terakhir kali ia melihat rumah itu, saat siang menuju sore, saat mendung yang hampir muntah, dengan tas berisi beberapa pakaian, juga anak manis yang berpegangan tangan yang terus menangis tanpa henti dan berucap “mamah” suaranya indah, ia tak lupa.
“Siapa?” suara dari dalam, masih suara perempuan.
Terdengar suara makin dekat, suara langkah kaki bersandal yang beradu dengan keramik lantai. Ia masih menggigil dingin di depan pintu dan di depan semua kenangan di rumah, saat dulu. Terdengar gagang pintu tersentuh, terbuka perlahan, dan...
“Rima?” Ia berkata di depan orang yang membuka rumah tersebut, hampir tak percaya, sahabatnya dulu.
“Kamu? Kamu kenapa, ayo masuk, wajahmu pucat.” Pembuka pintu yang bernama Rima, kaget melihat teman lamanya berkujung di rumah suaminya, dan mantan suami temannya.
Rima adalah sahabat dekat saat dulu ia masih menjejali bangku kuliah, cuma sayang ia tak tamat. Ia harus berhenti, ia mengandung anak Hari tanpa ada pernikahan terlebih dahulu. Ia tak mau mengingat kejadian itu.
Rima mengajaknya masuk kedalam rumah. Ia didudukkan di sofa ruanga tamu, ruang yang dulu selalu menjamu tamunya atau mantan suaminya, Hari. Rima bergegas mengambil handuk kering dari ruang belakang.
“Siapa mah?” Suara laki laki dari dalam ruang keluarga.
Suara yang sangat ia kenal. Suara yang sudah hampir empat tahun bersamanya. Suara yang agak berat. Suara yang membuat semua teringat kembali, suara saat ia masih merasakan perkuliahan, saat dulu dipaksa menjalankan pernikahan, saat dulu menjalani hidup bersama, juga saat ia harus pergi dari rumah yang sedang ia tempati sekarang.
Rima  mendekati suara suaminya dan mantan suami temannya, belum mengambil handuk keringnya “Papah temani dulu ia, aku ambilkan handuk dulu, ia kehujanan.”
“Siapa ia?”
Aku juga akan buatkan air hangat untuknya, ia menggigil.” Berjalan cepat dan Rima hilang dari ruang tempat suami dan mantan suami temannya berada, ke ruang belakang.
Hari bangun dari kursi yang ia duduki. Diberinya pembatas pada buku yang sedang ia baca tadi, lalu disimpannya buku tadi pada meja dengan berlampu tidur, terang hanya pada sekitar meja. Langkah langkahnya membuat penasaran hatinya untuk tahu siapa yang datang malam hari berhujan lebat seperti ini. Saat Hari sampai satu langkah pada ruang tamu, hari terdiam, terpatung. Ruangan itu terasa hening, dingin hujan pun tak lebih dingin dari suasana saat itu. Ruangan itu seakan tak beratap, air air hujan yang turun seakan menjatuhi seluruh tubuh Hari, sangat deras dibanding hujan di luar. Hari terus menatap tajam seluruh tubuh tamunya, duduk menggigil di sofa. Ujung rambut yang hitam legam, basah. Menatap raut wajahnya yang pucat dingin. Bibirnya yang hampir membiru. Dan….
“Mas,” ia menyapa Hari.
Hari tersontak kaget, rasa bersalah yang dulu ia lakukan pada mantan istrinya yang sekarang bertamu kini menghinggapi pikiran pikirannya yang kosong. Hari tak menjawab sapaan tamunya.
“Mas, maafkan aku telah mengganggu keluargamu sekarang. Aku tak bisa lama hadir di sini, aku harus segera kembali.” Masih tak berjawab.
“Lebih baik aku pergi.”
Saat ia sudah berdiri dan akan melangkah kearah pintu untuk keluar, Hari bicara. “Maafkan aku, dulu aku menyia nyiakanmu, sungguh aku ingin mengucapkannya dari saat kau pergi. Maafkan aku.”
“Aku tak bisa lama di sini, Mas.”
“Kenapa? Ada perlu apa kau datang kemari?”
Hari mendekati tamunya, mempersilakan duduk kembali pada sofa yang ia duduki tadi.
“Sungguh bukan magsudku untuk menyusahkanmu, Mas.” Ia berbicara ragu.
“Apa yang kau butuhkan, apa aku bisa bantu?” Hari mencoba meyakinkannya.
Dari dalam terdengar langkah kaki cepat masuk ke dalam ruang tamu. Langkah itu seakan memburu waktu. Rima datang dengan teh manis hangat dan handuk di pundak kirinya. Rima segera duduk di sebelah tamunya.
“Minum dulu, kamu pucat.” Rima memberikan teh manis hangat yang tadi dibawanya.
“Terima kasih Rim.” Ia mengambil teh manis hangat tadi lalu meminumnya, dan Rima menghanduki kepalanya yang basah air hujan. Mereka sungguh masih terlihat bersahabat seperti dulu, tak canggung.
“Kamu kenapa?” Rima mencoba bertanya, mencairkan suasana.
“Maafkan aku Rim. Sebenarnya aku tidak ingin merusak hubungan keluarga kalian sekarang, tapi aku sudah tak tahu harus meminta pertolongan ini pada siapa. Hanya bantuan suamimu yang aku harapkan sekarang.”
Ruang tamu itu hening beberapa detik, tak ada suara manusia terdengar, hanya hujan gerimis di luar dan angin angin kecil yang terdengar menggesekan ranting ranting pohon. Sepi, seperti tak bernyawa. Lalu…
“Pah,” Rima melirik suaminya, Hari.
“Akan ku bantu apa pun itu, anggap saja bantuan ini ucapan maafku.”
“Si manis Mas, anak kita di rumah sakit.” Ia menangis, kata katanya terputus putus oleh tangisannya, “ia harus di operasi, ada benjolan di belakang kepalanya. Dokter bilang itu tumor.” Ia semakin tak bisa menahan air matanya.
Rima memeluknya dari samping, mencoba menenangkan hati tamunya. Dan Hari terhentak kaget. Ia tak bisa berbicara, serasa bisu ia mendengar berita tersebut. Tangan tangannya kaku ia gerakan, kaki kakinya berat untuk di langkahkan, badannya tak bisa terangkat berdiri. Ia kaget mendengar berita itu. Kekhawatiran Hari terhadap anaknya mungkin yang mengalahkan kebisu, kekakuan, dan semua rasa berat yang hari rasakan.
“Di mana ia sekarang?” Hari terhentak.
Ia masih menangis dalam pelukan sahabat lamanya dulu, Rima. Air mata masih terus keluar, tak kering kering seperti hujan sepanjang hari tadi.
“Aku ganti baju dulu. Mah, ganti pakaiannya, ia kedinginan. Kita berangkat saja sekarang.” Kekhawatiran dan rasa rindu melupakan semuanya.
*
Mungkin rasa benci yang telah diterimanya beberapa tahun kebelakang masih terus terbayang, masih menyengat dalam hatinya, bahkan yang terdalam. Membisiki telinga hingga sampai mengiris pikirannya, membutakan seluruh hasrat kehidupannya. Tapi hari ini saat semua berubah, saat semua ucapan maaf yang terlantunkan, saat anak mereka tengah tertidur di sebuah kamar rumahsakit. Ia dapat melupakan rasa bencinya yang menahun. Rasa perih yang ia terima saat pergi dari rumah yang tadi dikunjungi. Melupakan bahwa sahabatnya Rima menjadi istri dari mantan suaminya. Yang ia pahami sekarang adalah rasa waswas menunggu operasi anaknya akan segera dilaksanankan berkat bantuan mantan suaminya, suami sahabatnya.
Derai air mata yang mengalir dari mata mantan suaminya Hari, terus berjatuhan saat melihat anaknya terbaring lemas disebuah kasur dengan bantuan pernafasan, dan infus menempel pada tangan kirinya. Anak manis itu terlihat lemah. Juga komatkamit mulut ibu kandung anak manis yang sedang terpejam itu, ia terus berdoa. Rima memeluk sehabatnya dari samping, matanya berkaca kaca, tak tega melihat anak dari sahabatnya sekaligus dari mantan istri suaminya pucat tak bergerak.
“Sebertar lagi kami akan berusaha,” dokter yang akan menangani operasi anak manis itu berkata pada mereka bertiga.
“Apa pasti sembuh dok?” Hari bertanya.
“iya dok.” Dengan isak tangis, ia menambahkan.
“Sabar, anakmu pasti sembuh.” Rima menenangkan.
“Kami akan berusaha, mohon doa dari bapak dan ibu semua.” Dokter menjawab, “saya pergi dulu.”
Beberapa menit setelah dokter pergi, beberapa suster membawa anak manis itu kesebuah ruangan, dimana mereka tidak diperkenankan untuk masuk kedalamnya. Berjam jam telah berlalu saat setelah anak manis itu dibawa. Malam semakin malam, hujan sudah reda. Hanya angin sisa hujan tadi masih tembus menyentuh tubuh.
Dalam bisik hatinya ia tahu tidak akan pernah membahagian anaknya meski telah sembuh dari sakitnya. Ia berfikir keras untuk itu, ia tidak ingin mengecewakan lagi anaknya dengan menjalani kehidupan yang sulit. Dengan hati yang telah bulat, saat anaknya masih berada dalam ruangan yang tidak bisa dimasukinya. Disaat mantan suaminya duduk termenung. Juga Rima sahabatnya berdiri mematung. ia harus pergi meninggalkan mereka. biar kelak apabila anak manis itu sembuh ia akan bersama ayahnya dan Rima menjadi ibu tirinya. Ia harus pergi. Tapi... semua bekata lain.
*
Siang sudah berjalan jauh, kini hampir sore. Tepat di sebuah tempat peristirahatan terakhir. Semua berpakaian hitam dengan wajah yang sendu, ada beberapa yang menangis. Ada beberapa saudaraku yang nampak hadir disitu, juga beberapa teman temanku dulu, semuanya nampak sedih. Juga mantan suamiku, Hari dan istri barunya, Rima, sahabatku. Hari terlihat sangat menyesal dengan wajah sedihnya dan sesekali berair mata. Rima malah terlihat menjadi orang yang paling sedih saat itu, air matanya tak henti keluar. Juga, siapa itu? Yang berada di kursi roda sebelah Hari. Dia nampak sangat aku kenal, “Anakku, manis! Kamu sembuh nak.” Iya itu anakku dia telah sembuh, yah telah sembuah. Terima kasihku pada dokter yang menyapa kami di rumah sakit saat itu, kau berhasil, dok. Doa ku pun berhasil, terima kasih. Doa mantan suamiku, juga istrinya yang adalah sahabatku. Aku senang dapat melihatnya kembali, meski terlihat belum sempurna sehatnya. Mungkin kalau bisa aku ingin mengucapkan maafku padamu, manis. Mungkin ini memang menjadi balasan atas kesalahanku yang akan meninggalkanmu, meski tadinya hanya untuk sementara. Tapi nyatanya saat aku baru keluar rumah sakit tempatmu di operasi, cahaya yang menyilaukan, dan suara klakson yang sangat keras yang masih aku ingat. Aku tertabrak truk, yah aku tertabrak. Sungguh aku minta maaf kepadamu nak. Juga ingin aku minta maaf kepada Hari dan Rima, yang telah menyusahkannya dimulai dari kemarin, mungkin untuk kedepanya juga karena telah rela membesarkan anakku. Maaf dan terimakasih.
Satu persatu keluarga dan kerabat pergi. Kini hanya menyisakan Hari, Rima, dan si manis anakku. Hanya kalian bertiga kini yang tersisa dan mungkin sebentar lagi akan pergi. Untuk terakhir kalinya aku masih bisa melihatmu yang telah sembuh dari penyakitmu, nak. Dan...

“Mamah.” Suaramu sangat indah, aku tak lupa.

13032012

0 komentar:

Posting Komentar