Kinanti, bangku lampu bunga dan akasia bercerita - #1

Kinanti, maaf aku tak bisa memberi bunga malam kemarin, maaf juga aku sering bercerita surga. Sore lalu aku menunggumu ditempat kita bertemu, aku bawakan coklat dan sekeranjang buah, aku menunggumu manis. Hingga hujan dan malam mengguantikan sore berawan, aku tetap merindu dimana kita bertemu dan menghabiskan waktu. Lampu param teman setia di kala ribuan air menetes perlahan, aku masih setia menunngu dibangku 6 tahun yang lalu. 2 jam tanpa jas hujan dan perapian, hanya jaket warisan dan angin malam menggeliat pada tubuh yang menggigil. Suhu udara berkisar antara 24 derajat celcius dengan sesekali suara bising kereta yang menyapa.

Kinanti, tadi ditempat kita dulu ada anak 8 tahun kedinginan sama sepertiku. Dia belum makan dari tiga hari yang lalu saat hari rabu. Maaf sekeranjang buah itu untuknya. Mukanya pucat sepertinya penyakit yang di deritanya kumat, entah penyakit apa yang jelas wajahnya hampir membiru. Dia menitip salam dan doa untukmu. Dia juga berterimakasih kepadamu, karena sekeranjang buah itu. Dia berbisik, sekeranjang buah itu untuk adiknya yang sakit dirumah.

Kinanti, ingat pada bunga sebelah bangku yang tepat dibawah lampu. Kita beri nama jingga 6 tahun lalu, kini aku sedang memutar-mutarnya sepertimu saat menungguku dulu. Atau ingat pada pohon akasia raksasa, yang terletak 7 meter dibelakang bangku, ayunannya masih sama saat kau terjatuh dulu, saat senja sebelum purnama.

Kinanti, kita tidak akan pernah bertemu kembali. Bunga jingga dan pohon akasia telah tiada. Bangku dan lampu telah berubah. Nafsu kota berbicara.



Entah apa ini, esai, cerpen, puisi, prosa, dan lainnya.
Hasil ejakulasi pemikiran dan sedikit banyak perasaan tentang kerinduan terhadap karya penuh cinta dan surga.
3 Mei '11 22.31

0 komentar:

Posting Komentar